Ketika seseorang memutuskan dirinya untuk bernaung di dalam Islam, sesungguhnya ia sedang menerima kehormatan diri yang meliputi ketenangan, ketentraman, kenyamanan dan penjagaan yang sempurna, untuk kehidupan dunia dan akhiratnya. Begitu pula dengan nilai diri seorang muslimah. Tak ada agama yang mengawal seluruh aspek kepribadian dan dirinya, keamanan dan keselamatan dirinya, kecuali ia telah menyerahkan seluruh dirinya di dalam Islam.
Contoh agung ini telah tertoreh di dalam sejarah. Pada suatu hari,
seorang wanita Arab membawa perhiasannya ke tempat perdagangan Yahudi
Bani Qainuqa’. Ia mendatangi seorang tukang sepuh untuk menyepuhkan
perhiasannya. Ia kemudian duduk sambil menunggu tukang sepuh itu
menyelesaikan pekerjaaannya. Tiba-tiba datanglah beberapa orang Yahudi
berkerumun mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab itu supaya
membuka penutup mukanya. Wanita itu pun menolaknya. Tanpa diketahui oleh
sang wanita, secara diam-diam si tukang sepuh itu menyangkutkan ujung
pakaian yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian punggungnya.
Ketika sang wanita berdiri, terbukalah aurat bagian belakangnya.
Orang-orang yahudi yang melihatnya tertawa terbahak-bahak. Wanita itu
menjerit meminta pertolongan. Mendengar teriakan itu, salah seorang dari
kaum muslimin yang berada di tempat perniagaan itu, secara kilat
menyerang tukang sepuh yahudi itu dan membunuhnya.
Orang-orang yahudi yang berada di tempat itupun mengeroyoknya hingga
orang muslim itu mati terbunuh. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya
peperangan antara kaum muslimin dan orang-orang Yahudi bani Qainuqa’.
Subhanallah, perlakuan yang diterima oleh seorang muslimah, mampu
menyebabkan terjadinya peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw
beserta para sahabatnya dengan para yahudi bani Qainuqa secara
keseluruhan. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah mengepung mereka di dalam
benteng-bentengnya selama lima belas hari, sampai kemudian mereka
menyerah dan bersedia menerima hukuman yang diputuskan oleh Rasulullah
saw .
Meski secara kuantitatif jumlah wanita separuh dari masyarakat dunia,
tetapi pengaruhnya terhadap saudara kandungnya, suaminya atau
anak-anaknya dan masyarakat sekitarnya, melampaui lebih dari itu. Wanita
adalah pribadi yang mukallaf (mempunyai tanggung jawab) sebagaimana
laki-laki. Ia mendapat perintah dan larangan sama sebagaimana laki-laki,
ia juga diberi penghargaan pahala dan juga siksa apabila melanggar
perintahNya.
Islam menempatkan wanita dalam posisi terhormat, sebagai saudara
kandung dan juga partner bagi pria dalam seluruh dimensi kehidupan, baik
sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (AQ S 33: 35)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (AQ S 9:71)
Kedua ayat tersebut menegaskan bahwa wanita memiliki kedudukan setara
dengan para lelaki, mereka saling menolong dalam berbagai lapangan
kebajikan, tanpa memandang perbedaan di antara keduanya, selain
keutamaan untuk melakukan amar ma’ruf nahiy mungkar.
Wanita pula yang mendapat dakwah pertama, yaitu bunda Hawa, dari
manusia pertama, yaitu nabi Adam. Di dalam al Quran, tidak ada
keterangan yang menunjukkan bahwa wanita, yakni bunda Hawa, harus
bertanggung jawab atas kesalahan Adam as. Bahkan pertanggungjawaban yang
pertama kali adalah pertanggungjawaban Adam. Sedangkan Hawa, hanya
mengikutinya.
Allah swt berfirman : “Dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan
kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami
dapati padanya kemauan yang kuat.” (AQ S Al baqarah 115)
Wanita berikutnya, dari generasi yang berbeda, juga menunjukkan
ketegaran luar biasa. Adalah bunda Hajar, ibu Ismail. Saat Ibrahim
meninggalkannya di lembah tak berpenghuni dan hanya membekalinya dengan
setangguk air. Perasaan kewanitaannya pun pasti akan menunjukkan rasa
takut, tanpa siapa-siapa dan tanpa bekal apa-apa. Ia bergejolak saat
Ibrahim beranjak pergi. Sementara ia menggendong bayi yang masih menyusu
kepadanya. Ibrahim tak menoleh saat Hajar menanyainya. Sesaat Hajar
bertanya, “Apakah Allah yang menyuruhmu?” Ibrahim membenarkannya. Apa
jawaban Hajar? “Kalau begitu ia tak akan menyia-nyiakan kami.”
Subhanallah, jawaban mulia dari seorang wanita yang terkokohkan betul
nilai kebenaran di hati dan seluruh tubuhnya. Hajar pula yang menyiapkan
dan mendidik anaknya, Ismail, sehingga ketika turun perintah Allah
kepada ayahnya untuk menyembelihnya, Ismail membenarkannya. Duhai dari
mana lagi kita mesti belajar ketegaran kalau bukan dengan bunda luar
biasa seperti bunda Hajar yang tercatat dalam hadis yang mulia.
Belum lagi wanita-wanita perkasa di sekitar nabi Musa, sejak
kelahirannya. Saat sang bunda melahirkan di gua yang tersembunyi agar
selamat dari kekejaman Firaun dan bala tentaranya. Lalu mendapatkan
ilham dari Allah untuk menghanyutkannya di sungai, hati ibu mana yang
sebenarnya tega melakukannya? Tetapi kepercayaan penuh pada Allah
menabahkannya. Ia perintahkan kakak perempuan nabi Musa untuk
mengikutinya. Sampai kemudian Musa diambil oleh Asiyah binti Muzahim
istri Fir’aun. Asiyah membesarkan dengan kasih sayang yang luar biasa.
Dan saat Allah mengangkat Musa menjadi Nabi, Asiyah adalah salah seorang
yang tersentuh hatinya dan rela menerima cobaan dan siksaan karena
keimanan yang menghujam dan keinginannya untuk dibangunkan sebuah rumah
di sisi Allah, sebab kekafiran suaminya.
Lihatlah pula peran wanita shahabiyah di sekitar dakwah Rasulullah.
Kita tak pernah kekurangan sosok hebat dengan masing-masing peranannya.
Adalah bunda Khadijah, istri Rasulullah, yang mengorbankan harta dan
dirinya untuk perjalanan dakwah. Ia pula yang menguatkan Rasulullah saat
rasul pertama kali menerima wahyu. Tak pernah tergantikan peran beliau
untuk kemashlahatan dakwah. Juga bunda Aisyah yang ilmunya lebih berat
bila ditimbang dengan wanita-wanita lain di Madinah. Ia periwayat hadits
handal dari kalangan wanita.
Belum lagi wanita pejuang yang terlibat di dalam jihad. Surat al
Mumtahanah , yang berarti wanita yang diuji, turun di Madinah,
menggambarkan betapa istimewanya para shahabiyah. Surat ini menceritakan
sejumlah kaum wanita yang beriman, namun suami mereka masih kafir,
sehingga mereka terpaksa berhijrah untuk keluar dari rumah mereka,
meninggalkan sanak saudara dan kampung mereka, dari Makkah menuju
Madinah. Mereka melakukannya untuk berjuang di jalan Allah, menyusul
Rasulullah dan kaum mukminat lainnya, sebagaimana digambarkan al Quran.
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (AQ S 60:10)
Kisah hebat ini merupakan gambaran kekuatan kaum mukminat yang mampu
melewati beratnya rintangan yang harus mereka alami, mengalahkan
fanatisme keluarga, suku, kaum dan kerabat. Mereka memilih hijrah dengan
kondisi transportasi pada saat itu, ditambah ketiadaan lelaki yang
menjaga mereka karena mereka memang sedang lari dari suaminya yang
musyrik, tidak diragukan lagi, tantangan berat itu tak menggoyahkan,
meski cuma seserpihan keyakinan mereka, keimanan mereka telah sampai
pada puncaknya.
Rasulullah saw bersabda, “Wanita adalah belahan laki-laki.” Imam al
Khathabi menjelaskan hadits ini dengan mengatakan bahwa wanita adalah
pendamping dan representasi pria, lahir dan batin, bahkan seakan bagian
yang tak terpisahkan dari tubuh lelaki itu sendiri.
Begitulah, tak ada naungan seteduh naungan Islam, tak ada aturan yang
sepenuhnya menjaga kecuali ketaatan pada aturan Islam. Maka,
pribadi-pribadi mulia yang telah tersentuh dalam cahaya iman, pasti akan
melejit dan menemukan kepribadian terbaik yang rela menpertaruhkan
apapun yang mereka punya untuk pembuktian kebenaran imannya.
Tak ada pengurangan hak seorang wanita karena kewanitaannya bila ia
memahami Islam, mau mengamalkannya dan berinteraksi secara penuh dengan
keindahannya. Tak ada ekstrimitas yang akan menolak perannya dan
mengotakkannya dalam bilik gelap bila ia bertekad untuk mewujudkan peran
para sahabat mulia yang terdidik oleh tangan Rasulullah.
Maka bergembiralah saudariku, karena kita terpilih oleh cinta
kepadaNya, kekuatan untuk meneladani rasulNya dan hidup bersama
syariatNya.
By Fiqih Wanita
0 komentar:
Posting Komentar